
Oleh: Siswan Ahudulu
Dari Jaringan Orang Biasa (Ja-robbi)
Dalam beberapa hari terakhir, publik Gorontalo Utara disuguhi unggahan rutin dari seorang kepala daerah dengan tajuk “Bupati Melapor”—sebuah frasa lokal yang akrab dan sarat makna kedekatan. Unggahan ini tidak hanya memuat dokumentasi kegiatan, namun juga dijelaskan dengan narasi yang menjelaskan ide, konsep, hingga refleksi pribadi sang bupati.
Saya kemudian tergelitik untuk sedikit mengurai fenomena yang (menurut saya) layak dijadikan sebuah studi baru dalam teori kepemimpinan modern saat ini dalam berberapa perspektif. Misalnya, jika diteropong dengan perspektif Komunikasi Politik; fenomena “Bupati Malepor” menunjukkan gejala pergeseran dari komunikasi politik konvensional ke komunikasi politik digital yang lebih partisipatif dan langsung. Bupati tampaknya memahami bahwa publik hari ini tidak hanya butuh hasil, tetapi juga cerita di balik hasil dan kebijakan. Meminjam perkataan Manuel Castells seorang pakar komunikasi jaringan, “Internet adalah media komunikasi yang untuk pertama kalinya memungkinkan komunikasi dari banyak orang kepada banyak orang, dalam waktu yang dipilih, dan dalam skala global.”
Unggahan ini menjadi bentuk narasi langsung yang bisa mengikis distorsi media perantara, menjembatani jarak antara pengambil keputusan dan masyarakat. Gaya ini mengingatkan pada praktik “direct communication” yang dilakukan oleh tokoh dunia seperti Barack Obama melalui Twitter.
Jika ditinjau dari perspektif budaya lokal, penggunaan kata “melapor” bukan sekadar kata tanpa makna dan tendensi. Apalagi sekedar latah dan lelucon. Ini adalah strategi branding politik yang kultural. Kata ini mengandung unsur lokalitas yang kuat—menciptakan kesan akrab, membumi, dan tidak berjarak. Branding semacam ini dapat memperkuat sense of belonging masyarakat terhadap pemimpinnya. Bahwa pemimpin sejatinya berasal dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat, maka wajib melapor kepada rakyat.
Teman saya bilang dalam teori komunikasi lintas budaya, pendekatan ini disebut sebagai “cultural anchoring”, yakni mengaitkan pesan dengan identitas lokal agar lebih mudah diterima dan dipercayai, selain mengandung aura magis empati dan simpati.
Sementara dalam kaca mata perspektif sosiologis (walau saya bukan ahlinya), tapi dengan membuka ruang komentar, tag lokasi, dan dialog dua arah di setiap unggahan, “Bupati Melapor” tampaknya sedang mempraktikkan sosiologi dialogis: mengubah warga dari sekadar objek kebijakan menjadi subjek yang terlibat dalam narasi pembangunan. Lebih dari itu, fenomena ini membuka jalur pemecahan masalah sosial di masyarakat dengan membuka dialog khusus melalui jalur digital oleh siapa saja yang merasa peduli dan berkompetensi terhadap masalah itu.
Data dari survei yang dilaksanakan oleh Katadata Insight Center (KIC) bekerja sama dengan Kemenkominfo (2021) menunjukkan bahwa 73% warga mengandalkan media sosial sebagai sumber informasi. Di tahun berikutnya data yang sama menunjukkan hasil 22,4 % mempercayai informasi lewat media sosial; 47 % lewat televisi; dan 17,9 % lainnya lewat situs resmi pemerintah. Artinya, Bupati Melapor, merupakan pendekatan yang bukan sekadar pamer kegiatan, tapi bisa menjadi mekanisme membangun kepercayaan dan legitimasi sosial di era digital. Manuel Castells menyebutkan bahwa transparansi dan keterlibatan langsung (dalam berbagai media) adalah mata uang baru kepercayaan publik.
Terakhir jika kita menggunakan perspektif politik dan pemerintahan; Kemungkinan kritik yang mungkin akan sering muncul adalah “ah ini pencitraan saja, sama seperti yang dulu masuk gorong-gorong”. Hal ini wajar, namun penting untuk membedakan antara pencitraan kosong dan publikasi berbasis kinerja. Pencitraan kosong adalah usaha membangun citra atau kesan positif secara berlebihan atau manipulatif, tetapi tidak didukung oleh tindakan nyata, prestasi, atau substansi yang sesuai. Misalnya, jika ada pejabat sering tampil di media sedang membantu masyarakat, tetapi tidak ada kebijakan konkret yang benar-benar menyelesaikan masalah, itu pencitraan kosong.
Sebaliknya publikasi berbasis kinerja fokusnya bukan pada kesan, tapi pada bukti dan hasil yang terukur. Ini tentu membutuhkan tindak lanjut serta ada indikator yang bisa dinilai hasil dan dampaknya bagi masyarakat dan daerah. Sehingga jika yang ditampilkan adalah realitas kerja, maka publikasi menjadi bagian dari akuntabilitas publik. Penting untuk menjaga agar unggahan “Bupati Melapor” tetap berorientasi pada substansi dan hasil, bukan sekadar gaya. Meminjam gurauan teman, akan terlihat perbedaan mencolok antara “Kisah janji Jhoni dan janji Jokowi”.
Dengan demikian, fenomena ini bisa menjadi bentuk disrupsi positif terhadap budaya birokrasi yang lambat, formal, dan hierarkis. Publikasi kegiatan secara cepat dan jujur menjadi alat pengawasan sosial yang mendorong kinerja OPD (Organisasi Perangkat Daerah). Bupati bukan lagi hanya simbol administratif, melainkan juga influencer kebijakan. Amat sangat disayangkan jika kemudian OPD tidak cerdas, empatik dan amanah untuk “lincah” menindaklanjuti setiap sinyal kebijakan pro rakyat dari “Bupati Melapor”.
“Melaristik Leadership”
Fenomena “Bupati Malepor” adalah gambaran nyata bahwa komunikasi pemerintahan kini telah masuk ke era politik berbasis narasi dan visual. Ia mengaburkan batas antara formal dan personal, antara ruang sidang dan ruang Instagram. Ini bisa menjadi pendekatan baru dalam membangun trust, partisipasi, dan legitimasi di era disrupsi.
Fenomena “Bupati Malepor” merupakan manifestasi dari transformational digital narrative leadership dengan pendekatan lokal. Ia bukan hanya gaya komunikasi, tetapi juga strategi membentuk persepsi, membangun kepercayaan, dan memperkuat legitimasi sosial. Dalam konteks ini, fenomena ini layak disebut sebagai “Kepemimpinan Digital-Naratif-Partisipatif” atau secara khas lokal bisa disebut “Melaristik Leadership”, suatu kecenderungan gaya kepemimpinan atau budaya birokrasi yang menekankan praktik pelaporan intensif, baik secara vertikal (kepada atasan/otoritas) maupun horizontal (kepada publik), sebagai sarana utama membangun akuntabilitas, legitimasi, dan pencitraan digital di ruang publik. Bagi saya ini bisa menjadi ikon gaya kempemimpinan baru Gorontalo Utara.
Namun, dalam lensa efisiensi dan efektivitas, Melaristik Leadership ini tetap harus bisa menjawab satu hal: apakah substansi kebijakan dan hasilnya sebanding dengan narasi yang disampaikan? Jika ya, maka “Bupati Melapor” bukan sekadar konten, melainkan ikon kepemimpinan zaman baru. Gaya Melaristik Leadership, terlahir setidaknya di bumi bagian utara Provinsi Gorontalo.
Aduh tiba-tiba ada yang berbisik “ukh cair poli ini’. Maka dah itu aja! Wallahu’alam.