Status Quo Bias dan Jebakan Bias Perilaku Dalam Penyelamatan Danau Limboto

Status Quo Bias dan Jebakan Bias Perilaku Dalam Penyelamatan Danau Limboto

64 views
0

Dr. Aryanto Husain

 

Meski waktunya dua kali lebih lama karena proses penerjemahan, pertemuan dengan Kepala Kantor Perwakilan JICA Indonesia, Takeda Sachiko, dan timya tentang pengelolaan danau, sore itu tetaplah menarik.

Mereka bercerita proses panjang penanganan permasalahan di Danau Ohmura, utamanya soal penanganan sampah. Menarik, karena ditutup dengan kunci utama keberhasilan yakni displin dan mulai dari diri sendiri yang merupakan aspek perilaku manusia.

Membandingkan Danau Ohmura dengan Danau Limboto aple to aple tidak mungkin. Keduanya memang Danau. Tapi kompleksitas dan akar permasalahan di Danau Limboto sangatlah berbeda, mulai deforestasi dan pembalakan liar di hulu DAS, perubahan penggunaan lahan, praktik pertanian tidak berkelanjutan. Semakin kompleks akibat peningkatan populasi dan okupansi lahan, hingga eutrofikasi dan pertumbuhan Eceng Gondok.

Semua permasalahan ini dapat ditemukan dan dieksplorasi dalam tumpukan dokumen kajian, perencanaan dan regulasi yang disusun bertahun-tahun.

Seperti tumpukan dokumen tersebut, permasalahan yang dihadapi pun juga bertumpuk. Danau makin sempit dan dangkal, berubah menjadi lapangan eceng gondok yang cepat sekali pertumbuhannya karena adanya eutrofikasi.

Akibatnya, pada saat-saat tertentu, air tidak lagi betah di danau tapi melimpah keluar. Banjir dan menggenangi daerah sekitarnya. Ikan-ikan endemik menyusut, ekonomi warga sekitar yang tergantung dari aktivitas perikanan melemah. Rumah dan bangunan berserakan sepanjang pesisir seperti menggambarkan absennya kepatuhan terhadap tata ruang.

Pemerintah tentu saja tidak tinggal diam. Upaya penyelamatan terus digulirkan. Mulai dari penetapan regulasi, program penghijauan, sosialisasi kesadaran lingkungan, hingga upaya penertiban keramba jaring apung dan bangunan liar di sempadan danau. Anggaran paling besar dikucurkan untuk pengerukan (dredging) dan normalisasi danau. Kelompok masyarakat sipil, akademisi, dan komunitas peduli lingkungan juga tak henti menyuarakan keprihatinan dan menginisiasi program-program restorasi partisipatif. Forum DAS, misalnya, mengembangkan edukasi berkelanjutan. Pengetahuan dan kepedulian tentang danau diajarkan melalui buku kepada anak sekolah.

Namun seperti kata Gubernur Gusnar Ismail, sampai hari ini belum ada kemajuan yang berarti tentang pemulihan Danau Limboto. Miris memang, karena jika melihat pembelajaran di Jepang, mereka bisa merevitalisasi Danau Biwa yang dulunya penuh eceng gondok menjadi sumber air bersih utama bagi Kyoto.

Seharusnya dengan berbagai program dan kerjasama selama ini, danau Limboto sudah kembali pulih dan bisa dimanfaatkan untuk pariwisata, pengembangan perikanan air tawar, selain menjadi last reservoir.

Revitalisasi Danau Limboto adalah sebuah paradoks. Kerusakan tetap ada saat upaya penyelamatan tengah berjalan. Land clearing, deforestasi, peladangan berpindah, hingga budidaya eceng gondok (bibilo) dianggap seperti hal biasa walaupun sosialisasi hingga pelarangan dan penegakan hukum sudah dijalankan. Kita seperti terjebak dalam bias status quo dan tidak sadar penyebab utama kerusakan adalah factor antropogenik.

Karenanya memahami status quo bias dalam upaya penyelamatan danau ini adalah hal penting. Bias ini terjadi akibat kealpaan memahami faktor fundamental, perilaku manusia. Dalam pandangan neo-klasik, manusia sebagai homo oeconomicus dianggap tegas menentukan pilihan karena kemampuannya menyerap informasi yang tersedia. Hal ini memudahkannya menghitung keuntungan dan kerugian yang mungkin ditimbulkan dari setiap pilihan.

Bias heuristic ini mendorong individu membuat keputusan berdasarkan kemudahan suatu informasi tertentu muncul dalam pikiran. Maka tidak heran, agenda aksi yang ada selama ini hanya dikaitkan dengan masalah regulasi, dukungan infrastruktur, teknologi, atau perijinan dan pelarangan.

Sejatinya, manusia adalah pribadi yang memiliki rasionalitas terbatas (bounded rationality), memiliki keterbatasan dalam mengelola informasi dan menyelesaikan persoalan yang digunakan dalam memutuskan sesuatu tindakan. Richard Thaler, peraih Nobel Ekonomi dan pionir Ekonomi Perilaku, mengatakan selama ini kita kurang rasional dalam pengambilan keputusan. Perilaku irasional ini dianggap tidak acak atau tidak masuk akal, padahal justeru sebaliknya, dia bersifat sistematis dan dapat diprediksi.

Akibatnya, upaya pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan menjurus kepada insentif ekonomi murni, kepada aturan normatif atau larangan semata sebagai pandangan neoklasik. Belum menyentuh pelajaran tentang pengaruh bias kognitif, emosi, dan norma sosial sebagaimana yang dianjurkan dalam ekonomi perilaku. Kebiasaan masyarakat membuang sampah ke sungai atau danau, atau menggantungkan hidup pada praktik pertanian dan perikanan yang tidak berkelanjutan, adalah kebiasaan yang cenderung sulit dirubah. “Kenyamanan” menjebak mereka dalam status quo bias ini. Regulasi bahkan laranganpun tidak akan berpengaruh.

Daniel Kahneman, salah satu arsitek ekonomi perilaku, status quo bias ini juga disebabkan oleh Loss Aversion, ketakutan akan kehilangan. Nelayan mungkin enggan membongkar keramba ilegal karena khawatir kehilangan sumber pendapatan langsung, meskipun mereka tahu keramba itu berkontribusi pada kerusakan jangka panjang. Di kawasan atas, petani jagung mungkin enggan beralih ke praktik pertanian ramah lingkungan karena takut kehilangan sebagian hasil panennya. Kahneman menekankan bahwa “kerugian terasa lebih menyakitkan daripada kesenangan dari keuntungan yang setara.” Rasa sakit kehilangan keuntungan saat ini seringkali lebih besar daripada potensi keuntungan jangka panjang dari lingkungan yang pulih. Akibatnnya, manusia memilih keuntungan sesaat daripada pertimbangan keberlanjutan.

Anomali lain yang juga penting diperhatikan adalah sunk cost, fenomena ‘terlanjur basah.’ Dalam aktivitasnya baik di lahan atas maupun di lingkungan danau, masyarakat mungkin merasa sudah terlanjur mengeluarkan biaya. Apakah itu untuk pembelian saprodi, pembuatan karamba atau lainnya. Sehingga merasa rugi saat tidak bisa memperoleh pengembalian atas pembiayaan tersebut. Bias ini menggambarkan bahwa kegiatan-kegiatan yang sedang berlangsung saat ini dianggap lebih menguntungkan ketimbang mencoba perubahan.

Inilah mengapa perspektif Ekonomi Perilaku menjadi begitu krusial dalam upaya revitalisasi dan penyelematan danau, khususnya dalam memahami status quo bias dan bias perilaku lainnya. Kajian mendalam perilaku individu akan melengkapi pandangan neo-klasik tentang individu manusia. Pengetahuan mendalam tentang bias perilaku perlu diadaptasi kedalam berbagai agenda aksi penyelamatan. Mulai saat perencanaan dan pelaksanaan restorasi ekosistem danau dan DAS, pengendalian pemanfaatan ruang, pemberdayaan masyarakat, pengembangan ekonomi danau berkelanjutan, hingga penguatan tata kelola dan kelembagaan.

Penyelamatan Danau Limboto bukan hanya tentang rekayasa fisik saja. Tapi juga mencakup proyek rekayasa sosial dan perilaku. Jepang menjadi contoh yang baik tentang rekayasa sosial dan perilaku yang membuatnya berhasil dalam penanganan sampah di Danau Ohmura dan permasalahan lingkungan lainnya. Dengan memahami dan secara cerdas mengatasi bias status quo yang menghambat perubahan, upaya penyelamatan danau menjadi sebuah keniscayaan, bukan hanya untuk kepentingan hari ini, tetapi untuk generasi mendatang. (#18/6/25#)

Your email address will not be published. Required fields are marked *