Hamdan Nango, Moh. Suryansyah R. Waraga, Roy Marthen Moonti
Fakultas Hukum, Universitas Gorontalo
hamdannango@gmail.com,mohsuryansyahwaraga@gmail.com,roymoonti16@gmail.com
Abstrak
Tulisan ini membahas secara mendalam tinjauan yuridis terhadap Rancangan Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (RUU TNI), dengan menyoroti dua prinsip utama dalam sistem ketatanegaraan Indonesia, yaitu supremasi sipil dan prinsip negara hukum. Supremasi sipil menempatkan otoritas sipil—terutama presiden dan parlemen—di atas institusi militer dalam pengambilan kebijakan negara, sebagai jaminan bahwa kekuasaan militer tidak menjadi kekuatan otonom yang dapat mengintervensi proses politik dan pemerintahan sipil. Dalam konteks ini, peran TNI harus ditempatkan secara proporsional dan sesuai dengan amanat konstitusi, khususnya Pasal 30 UUD 1945 yang menegaskan bahwa TNI sebagai alat pertahanan negara tunduk pada kebijakan dan keputusan politik negara.Melalui pendekatan normatif-analitis, artikel ini mengkaji isi substansi dari RUU TNI, termasuk klausul-klausul yang mengatur tugas pokok TNI, keterlibatannya dalam operasi militer selain perang (OMSP), serta kewenangan-kewenangan yang dapat berpotensi multitafsir apabila tidak dibarengi dengan pengawasan dan batasan hukum yang ketat. Meskipun RUU ini tampak berupaya merespons dinamika global dalam tata kelola militer modern, namun sejumlah ketentuan di dalamnya justru menimbulkan kekhawatiran akan munculnya ketimpangan antara kekuasaan sipil dan militer. Jika tidak diantisipasi dengan sistem kontrol sipil yang efektif dan mekanisme akuntabilitas yang transparan, maka RUU TNI berpotensi menyimpang dari prinsip negara hukum yang menuntut setiap tindakan pemerintah, termasuk militer, harus dapat dipertanggungjawabkan secara hukum. Karena itu, penting untuk merekomendasikan penguatan perangkat hukum dan institusi pengawas—seperti parlemen dan lembaga pengawas independen—yang memiliki otoritas dan keberanian untuk mengevaluasi serta membatasi intervensi militer di luar kerangka tugas konstitusionalnya. Harmonisasi antara kekuatan militer dan pemerintahan sipil tidak boleh hanya bersifat normatif, tetapi harus diwujudkan secara struktural, prosedural, dan substansial guna menjaga kualitas demokrasi dan perlindungan hak-hak sipil dalam negara hukum Indonesia.
Kata kunci: RUU TNI, supremasi sipil, negara hukum, militer, demokrasi, akuntabilitas sipil.
act
This paper discusses in depth the juridical review of the Draft Law on the Indonesian National Army (RUU TNI), by highlighting two key principles in the Indonesian constitutional system, namely civilian supremacy and the principle of the rule of law. Civilian supremacy places civilian authorities – especially the president and parliament – above military institutions in state policy-making, as a guarantee that military power does not become an autonomous force that can intervene in civilian political and governance processes. In this context, the role of the TNI must be placed proportionally and in accordance with the mandate of the constitution, especially Article 30 of the 1945 Constitution which affirms that the TNI as a means of state defence is subject to state policies and political decisions.Through a normative-analytical approach, this article examines the substance of the TNI Bill, including clauses governing the TNI’s main tasks, its involvement in military operations other than war (OMSP), as well as authorities that could potentially have multiple interpretations if not accompanied by strict legal supervision and restrictions. Although this bill appears to respond to global dynamics in modern military governance, a number of provisions in it raise concerns about the imbalance between civilian and military power. If not anticipated with an effective civilian control system and transparent accountability mechanisms, the TNI Bill has the potential to deviate from the principles of the rule of law.
Keywords: RUU TNI, civilian supremacy, rule of law, military, democracy, civilian accountability.
PENDAHULUAN
Dinamika hubungan antara militer dan sipil merupakan salah satu pilar krusial dalam arsitektur ketatanegaraan modern, khususnya dalam konteks negara demokratis yang menjunjung tinggi prinsip supremasi sipil dan negara hukum. Indonesia, sebagai salah satu negara demokrasi terbesar di dunia, telah melewati berbagai fase transformatif dalam menata ulang peran dan posisi Tentara Nasional Indonesia (TNI) pasca-Orde Baru. Dari dwi fungsi ABRI yang meresap ke hampir setiap lini kehidupan berbangsa dan bernegara, transisi menuju tatanan yang lebih demokratis menuntut reposisi TNI agar kembali pada khittah profesionalisme militernya, tunduk di bawah kendali sipil, dan beroperasi dalam koridor hukum yang jelas. Namun, perjalanan ini tidaklah linear, dan berbagai tantangan serta diskursus terus bermunculan, salah satunya yang paling menonjol adalah perdebatan seputar Rancangan Undang-Undang TNI (RUU TNI) serta implikasi hukum dari fenomena rangkap jabatan yang dilakukan oleh anggota TNI dan POLRI.
Problematika rangkap jabatan sipil oleh anggota TNI dan POLRI telah memicu pro dan kontra yang masif di tengah masyarakat dan kalangan akademisi (Kamil, 2022). Argumentasi yang muncul beragam, mulai dari pandangan bahwa anggota TNI dan POLRI memiliki hak konstitusional untuk berpartisipasi aktif dalam menentukan masa depan bangsa, hingga persoalan pragmatis terkait penumpukan perwira non-job yang dianggap dapat diselesaikan melalui penugasan di sektor sipil. Tidak jarang pula, kebijakan langsung dari pemerintah menjadi katalisator bagi penempatan anggota TNI dan POLRI aktif yang dianggap memiliki kompetensi untuk menduduki jabatan sipil (Kamil, 2022). Pertanyaan fundamental yang muncul adalah, bagaimana pengaturan rangkap jabatan ini selaras dengan prinsip-prinsip negara hukum dan supremasi sipil yang menjadi landasan konstitusional Republik Indonesia?
Konstitusi Republik Indonesia Tahun 1945 secara eksplisit mengatur pembagian tugas dan wewenang dalam penyelenggaraan pertahanan dan keamanan negara antara TNI dan Kepolisian Negara Republik Indonesia (POLRI). Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI, khususnya Pasal 7 ayat (1), menegaskan tugas pokok TNI untuk menegakkan kedaulatan negara,
Mempertahankan keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan UUD 1945, serta melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia dari ancaman dan gangguan terhadap keutuhan bangsa dan Negara (Muhtadi, 2022). Di sisi lain, POLRI memiliki peran sentral dalam menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat. Sinergi antara kedua institusi ini adalah keniscayaan dalam menjaga stabilitas nasional, namun delineasi peran dan kewenangan menjadi sangat penting untuk menghindari potensi tumpang tindih dan penyimpangan.
Dalam konteks negara hukum, setiap tindakan dan kewenangan lembaga negara harus didasarkan pada dan diatur oleh hukum. Prinsip ini, yang dikenal sebagai rechtstaat, mengharuskan adanya kepastian hukum, akuntabilitas, dan perlindungan hak asasi manusia. Ketika kita berbicara tentang militer, yang secara inheren memiliki kekuatan koersif, penegakan prinsip negara hukum menjadi semakin vital. RUU TNI, sebagai bagian dari upaya legislasi yang lebih komprehensif, seyogianya merumuskan pengaturan yang tidak hanya adaptif terhadap dinamika ancaman dan kebutuhan pertahanan, tetapi juga secara teguh menopang arsitektur negara hukum. Ini mencakup, namun tidak terbatas pada, pengaturan tentang penggunaan kekuatan, akuntabilitas militer, dan transparansi dalam pengelolaan anggaran serta asset (Doliwa, 2002).
Salah satu area krusial yang memerlukan tinjauan mendalam adalah kewenangan TNI dalam mengatasi aksi terorisme. Terorisme telah berkembang menjadi masalah global yang mengancam integritas bangsa dan negara (Andresen, 2018). Penanggulangan tindak pidana terorisme bukan lagi semata-mata menjadi domain POLRI, melainkan juga melibatkan TNI. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, khususnya Pasal 43I, menggarisbawahi peran TNI dalam mengatasi kejahatan ini (Andresen, 2018). Namun, keterlibatan TNI dalam penanggulangan terorisme, yang secara tradisional merupakan ranah penegakan hukum, perlu diatur secara cermat agar tidak mengikis prinsip supremasi sipil dan menghindari potensi militerisasi penegakan hukum. Batasan yang jelas antara operasi militer dan tugas kepolisian harus diatur untuk mencegah penyalahgunaan kekuasaan dan menjamin perlindungan hak-hak sipil.
Supremasi sipil, sebagai inti dari tata kelola demokratis, mengimplikasikan bahwa lembaga militer harus berada di bawah kendali politik yang dipilih secara demokratis. Hal ini berarti bahwa kebijakan pertahanan dan keamanan, termasuk penggunaan kekuatan militer, harus diputuskan oleh otoritas sipil, dan militer harus bertanggung jawab kepada mereka. Dalam konteks Indonesia, transisi dari dwi fungsi ABRI menuju militer yang profesional dan tunduk pada supremasi sipil telah menjadi agenda reformasi yang berkelanjutan. Namun, perdebatan seputar rangkap jabatan dan kewenangan TNI dalam domain sipil menunjukkan bahwa upaya untuk memperkuat supremasi sipil masih menghadapi tantangan. Konsep ideal pelarangan rangkap jabatan bagi anggota TNI dan POLRI aktif perlu dirumuskan secara komprehensif, dengan mempertimbangkan keseimbangan antara kebutuhan negara dan prinsip-prinsip demokrasi. Hal ini juga termasuk memastikan bahwa setiap penugasan anggota TNI di luar fungsi pertahanan murni bersifat temporer, transparan, dan di bawah pengawasan ketat otoritas sipil.
Selain itu, dinamika sengketa kepemilikan hak atas tanah antara TNI dan warga sipil juga menyoroti kompleksitas hubungan militer-sipil di Indonesia. Kasus-kasus sengketa tanah ini seringkali muncul karena tidak adanya bukti kepemilikan atau sertifikat yang jelas atas tanah yang disengketakan (Susdarwono, 2020). Mengingat TNI adalah institusi pemerintah di bawah Kementerian Pertahanan, hak atas tanah yang digunakan untuk kepentingan TNI adalah hak pakai sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan (Fitria & Deslin, 2023)). Permasalahan ini bukan hanya tentang kepemilikan aset, tetapi juga tentang bagaimana negara hukum menjamin hak-hak properti warga negara di hadapan institusi militer yang kuat. Penyelesaian sengketa semacam ini harus dilakukan secara adil dan transparan, berdasarkan prinsip-prinsip hukum yang berlaku, dan menghindari penggunaan pendekatan yang bersifat koersif.
Pembahasan mengenai RUU TNI juga tidak bisa dilepaskan dari semangat reformasi birokrasi dan manajemen kepegawaian sipil. Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2017 tentang Manajemen Pegawai Negeri Sipil dan Undang-Undang Aparatur Sipil Negara (UU ASN) menjadi kerangka hukum yang mengatur tata kelola sumber daya manusia di sektor publik. Integrasi atau interaksi antara sistem kepegawaian militer dan sipil, terutama dalam konteks rangkap jabatan, harus dikaji secara cermat agar tidak menimbulkan distorsi pada sistem meritokrasi di birokrasi sipil dan tetap menjamin profesionalisme militer. Hal ini juga berkaitan dengan kode etik profesi, seperti Peraturan Kapolri No.Pol.7 Tahun 2006 tentang Kode Etik Profesi Polri, yang perlu menjadi referensi dalam merumuskan etika dan batasan bagi anggota TNI yang menduduki jabatan di luar domain militer (Moroń, 2022).
Pada akhirnya, tinjauan yuridis terhadap RUU TNI dalam perspektif supremasi sipil dan negara hukum harus menjadi sebuah diskursus yang holistik dan komprehensif. Ini melibatkan analisis terhadap landasan konstitusional, peraturan perundang-undangan yang relevan, implikasi praktis dari kebijakan yang ada, serta perbandingan dengan praktik terbaik di negara-negara demokratis lainnya. Tujuan utama dari kajian ini adalah untuk memberikan kontribusi akademis yang substansial dalam perumusan RUU TNI yang tidak hanya memperkuat kapasitas pertahanan negara, tetapi juga secara kokoh menempatkan TNI dalam kerangka supremasi sipil dan negara hukum yang utuh. Hal ini merupakan prasyarat mutlak bagi keberlanjutan demokrasi dan stabilitas di Indonesia, memastikan bahwa kekuatan militer berfungsi sebagai instrumen negara yang profesional dan akuntabel, tunduk kepada kehendak rakyat yang diekspresikan melalui otoritas sipil yang sah, serta beroperasi dalam batas-batas yang ditentukan oleh hukum. Keseluruhan proses ini haruslah transparan, partisipatif, dan mendengarkan berbagai pandangan dari masyarakat sipil, akademisi, dan pemangku kepentingan lainnya, agar RUU TNI yang dihasilkan benar-benar mencerminkan konsensus nasional tentang bagaimana sebuah militer yang demokratis seharusnya beroperasi.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif (normative legal research), yang secara fundamental berfokus pada analisis teks-teks hukum, doktrin-doktrin hukum, dan prinsip-prinsip hokum (Gea et al., 2025). Pendekatan ini dipilih karena permasalahan yang dikaji berkaitan erat dengan interpretasi, sinkronisasi, dan evaluasi peraturan perundang-undangan, khususnya Rancangan Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (RUU TNI), dalam kerangka konstitusional dan filosofis negara hukum serta supremasi sipil di Indonesia.
PEMBAHASAN
Rancangan Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (RUU TNI) tengah menjadi diskursus krusial dalam lanskap hukum dan politik Indonesia, memantik perdebatan yang intens mengenai esensi supremasi sipil dan implikasi terhadap prinsip negara hukum. Kajian yuridis terhadap RUU ini adalah keniscayaan akademis dan profesional untuk menguraikan secara komprehensif potensi transformasinya dalam arsitektur ketatanegaraan Indonesia. Sebagaimana termaktub dalam konstitusi, Indonesia menganut sistem pertahanan rakyat semesta (Sishankamrata) yang menempatkan TNI sebagai komponen utama, didukung oleh komponen cadangan dan pendukung (Sawi, 2022); (Sahabuddin & Ramdani, 2020)). Namun, harmonisasi peran dan kedudukan TNI dalam bingkai demokrasi modern, khususnya pasca-reformasi 1998, menjadi tantangan fundamental yang terus berlanjut. RUU TNI, yang semestinya menjadi instrumen legislasi untuk memperkuat profesionalisme TNI dan menjamin akuntabilitasnya di bawah kontrol sipil, justru memunculkan kekhawatiran akan kembalinya bayang-bayang dwifungsi ABRI yang pernah menjadi ciri khas era otoriter (Sawi, 2022).
Telaah ini akan menelusuri secara mendalam dinamika historis, filosofis, dan normatif yang melandasi perdebatan seputar RUU TNI, dengan fokus pada bagaimana rancangan ini berpotensi meredefinisi hubungan sipil-militer. Prinsip supremasi sipil, sebagai pilar demokrasi modern, menegaskan bahwa kekuasaan tertinggi dalam negara berada di tangan lembaga sipil yang dipilih secara demokratis, dan militer, sebagai alat negara, tunduk sepenuhnya pada otoritas tersebut (Sawi, 2022). Indonesia, setelah melalui transisi panjang dari rezim militeristik ke demokrasi, telah mengukuhkan supremasi sipil sebagai prasyarat tak terbantahkan. Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI menjadi tonggak penting dalam upaya peletakan dasar profesionalisme militer dan pemisahan perannya dari ranah politik dan sipil (Novavah, 2020)). Namun, wacana revisi UU TNI yang bergulir, dengan berbagai usulan perluasan kewenangan dan peran TNI di luar fungsi pertahanan, mengancam kemajuan yang telah dicapai dalam membangun tatanan sipil-militer yang seimbang dan demokratis.
Salah satu isu sentral dalam RUU TNI adalah potensi perluasan keterlibatan TNI dalam jabatan sipil. Fenomena rangkap jabatan Aparatur Sipil Negara (ASN), TNI, dan Polri sebagai komisaris di Badan Usaha Milik Negara (BUMN) menunjukkan adanya celah regulasi yang memungkinkan tumpang tindih peran, meskipun ada justifikasi bahwa hal tersebut dianggap sebagai faktor penyeimbang bagi BUMN (Novavah, 2020). Kekhawatiran muncul ketika RUU TNI secara eksplisit atau implisit melegitimasi keterlibatan militer dalam sektor-sektor non-pertahanan, seperti penanganan bencana, pembangunan infrastruktur, hingga keamanan dalam negeri, yang seharusnya menjadi domain institusi sipil seperti Polri. Pergeseran ini, jika tidak diatur secara cermat, dapat mengikis batas-batas peran yang telah ditetapkan dan mengancam profesionalisme militer yang seharusnya berfokus pada tugas pertahanan Negara (Azzahra, 2022). Konsepsi “Bela Negara” sebagai bagian dari Sishankamrata, meskipun esensial dalam menyiapkan komponen cadangan, harus tetap diinterpretasikan dalam kerangka yang tidak mengaburkan peran utama TNI dan tidak menyebabkan militerisasi fungsi-fungsi sipil (Susdarwono, 2020);(Azzahra, 2022).
Dalam perspektif negara hukum, setiap kewenangan yang diberikan kepada institusi negara, termasuk TNI, harus didasarkan pada dan dibatasi oleh hukum. Ini berarti bahwa setiap tindakan TNI harus memiliki legitimasi hukum yang jelas, transparan, dan dapat dipertanggungjawabkan. Prinsip akuntabilitas dan kontrol yudisial menjadi sangat vital. Jika RUU TNI memberikan kewenangan yang ambigu atau terlalu luas tanpa mekanisme pengawasan yang memadai, hal ini dapat menciptakan ruang bagi penyalahgunaan kekuasaan dan mengikis prinsip supremasi hukum. Misalnya, terkait dengan penanganan tindak pidana yang melibatkan anggota militer, mekanisme koneksitas yang diatur dalam Kitab ng-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dan Undang-Undang Peradilan Militer harus dipertimbangkan secara saksama. Meskipun ada kebutuhan untuk kerangka hukum yang jelas, penyerahan kasus pidana umum yang dilakukan oleh anggota TNI ke peradilan sipil masih memerlukan reformasi kebijakan hukum pidana yang komprehensif (Pebrianto, 2024)). Tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh pejabat militer, misalnya, memerlukan penanganan yang tegas dan transparan, dengan KPK berwenang melakukan penyidikan dan berkolaborasi dengan Polisi Militer/Oditur Militer (Pebrianto, 2024).
Transparansi dalam proses pembentukan RUU TNI menjadi sorotan tajam. Penelitian menunjukkan bahwa pembentukan RUU TNI seringkali dilakukan secara tertutup, tanpa melibatkan partisipasi publik yang memadai dan tanpa publikasi naskah akademik yang transparan (Azzahra, 2022). Proses legislasi yang tidak demokratis ini tidak hanya melanggar prinsip transparansi legislatif tetapi juga berpotensi menghasilkan produk hukum yang tidak mengakomodasi kepentingan publik secara luas dan mengabaikan prinsip partisipatoris dalam hukum tata Negara (Pebrianto, 2024). Keterlibatan masyarakat sipil, akademisi, dan praktisi hukum dalam setiap tahapan perumusan RUU adalah imperatif untuk memastikan bahwa regulasi yang dihasilkan sejalan dengan semangat reformasi dan prinsip-prinsip demokrasi. Pembahasan yang terjadi secara tertutup justru memicu kecurigaan bahwa ada upaya untuk mengembalikan atau melegitimasi peran-peran militer yang tidak sesuai dengan fungsi utamanya sebagai alat pertahanan negara.
Dampak dari revisi UU TNI yang mengarah pada pengembalian dwifungsi ABRI berpotensi memicu kecemburuan internal kepemerintahan sipil dan merusak pola karier TNI di kementerian/lembaga (Novavah, 2020). Lebih jauh, hal ini dapat mengganggu keseimbangan checks and balance dalam sistem ketatanegaraan. Dalam sistem demokrasi, pembagian kekuasaan dan kontrol antarlembaga adalah krusial untuk mencegah sentralisasi kekuasaan dan memastikan akuntabilitas. Jika TNI diberikan peran yang terlalu luas di luar domain pertahanan, hal ini dapat mengancam otonomi lembaga sipil dan menciptakan ketidakseimbangan yang merugikan proses demokratisasi. Penguatan komponen cadangan melalui UU PSDN untuk Pertahanan Negara (Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2019) seharusnya dilihat sebagai upaya untuk memperkuat sistem pertahanan secara keseluruhan, bukan sebagai justifikasi untuk memperluas peran militer dalam fungsi-fungsi sipil (Novavah, 2020).
Konsep wajib militer, yang telah bergeser menjadi pelatihan dasar kemiliteran bagi warga negara yang lulus sebagai komponen cadangan secara sukarela, harus dipertahankan sebagai upaya penguatan pertahanan tanpa mengarah pada militerisasi masyarakat sipil (Susdarwono, 2020)).
Secara filosofis, konsep pertahanan negara dalam konteks Indonesia harus selalu didasarkan pada Sishankamrata, sebuah doktrin yang memiliki akar filosofis dan historis kuat dalam budaya Indonesia dan telah terbukti efektif dalam menghadapi ancaman (Sahabuddin & Ramdani, 2020). Namun, implementasi Sishankamrata harus tetap berada dalam kerangka supremasi sipil dan negara hukum.
Ini berarti bahwa meskipun seluruh sumber daya nasional, termasuk manusia dan sarana prasarana, dapat dilibatkan dalam pertahanan, pengelolaannya harus tetap berada di bawah otoritas sipil. Konsep “Bela Negara” sebagai bagian dari Sishankamrata adalah penting untuk menghasilkan kader-kader pertahanan negara yang siap menjadi komponen cadangan dan komponen pendukung (Sahabuddin & Ramdani, 2020). Namun, interpretasi dan implementasi “Bela Negara” harus secara tegas membedakan antara partisipasi warga negara dalam pertahanan dan militerisasi kehidupan sipil.
Urgensi pengaturan komponen cadangan, sebagaimana dicanangkan dalam UU No. 23 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Sumber Daya Nasional Untuk Pertahanan Negara, bertujuan untuk memperkuat komponen utama TNI (Annisa & Wisnaeni, 2023). Namun, pembentukan dan pengelolaan komponen cadangan harus transparan, akuntabel, dan tidak mengaburkan batas-batas peran militer dan sipil. Kesiapan kapasitas pengelolaan komponen cadangan matra darat guna memperkuat komponen utama TNI adalah suatu hal yang krusial, tetapi perlu dipastikan bahwa proses ini tidak menciptakan struktur paralel atau tumpang tindih kewenangan yang dapat mengancam supremasi sipil.
Pada akhirnya, tinjauan yuridis terhadap RUU TNI harus secara cermat menimbang setiap pasal dan ketentuan untuk memastikan konsistensinya dengan konstitusi dan prinsip-prinsip demokrasi. Setiap potensi perluasan kewenangan TNI di luar fungsi pertahanan harus dianalisis secara kritis, dengan mempertimbangkan dampak jangka panjang terhadap stabilitas politik, akuntabilitas, dan hak asasi manusia. Proses legislasi yang transparan, partisipatif, dan akuntabel adalah kunci untuk menghasilkan undang-undang yang legitimate dan diterima oleh semua pihak. Tanpa hal tersebut, RUU TNI berisiko menjadi instrumen yang justru melemahkan fondasi negara hukum dan supremasi sipil yang telah susah payah dibangun pasca-reformasi. Perdebatan seputar RUU TNI adalah ujian bagi komitmen Indonesia terhadap demokrasi dan keseriusannya dalam membangun militer yang profesional, modern, dan tetap berada di bawah kontrol sipil yang kuat. Kekuatan militer yang profesional adalah prasyarat bagi keamanan negara, tetapi militer yang tunduk pada supremasi sipil .
Pada akhirnya, tinjauan yuridis terhadap RUU TNI harus secara cermat menimbang setiap pasal dan ketentuan untuk memastikan konsistensinya dengan konstitusi dan prinsip-prinsip demokrasi. Setiap potensi perluasan kewenangan TNI di luar fungsi pertahanan harus dianalisis secara kritis, dengan mempertimbangkan dampak jangka panjang terhadap stabilitas politik, akuntabilitas, dan hak asasi manusia. Proses legislasi yang transparan, partisipatif, dan akuntabel adalah kunci untuk menghasilkan undang-undang yang legitimate dan diterima oleh semua pihak. Tanpa hal tersebut, RUU TNI berisiko menjadi instrumen yang justru melemahkan fondasi negara hukum dan supremasi sipil yang telah susah payah dibangun pasca-reformasi. Perdebatan seputar RUU TNI adalah ujian bagi komitmen Indonesia terhadap demokrasi dan keseriusannya dalam membangun militer yang profesional, modern, dan tetap berada di bawah kontrol sipil yang kuat. Kekuatan militer yang profesional adalah prasyarat bagi keamanan negara, tetapi militer yang tunduk pada supremasi sipil adalah prasyarat bagi demokrasi yang sehat dan berkelanjutan.
KESIMPULAN
Berdasarkan kajian normatif terhadap substansi Rancangan Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (RUU TNI), dapat disimpulkan bahwa meskipun terdapat upaya untuk melakukan modernisasi sistem pertahanan negara, beberapa ketentuan dalam RUU ini masih belum sepenuhnya mencerminkan prinsip supremasi sipil dan negara hukum sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Salah satu kelemahan utama terletak pada ketidakjelasan mekanisme pengawasan oleh lembaga-lembaga sipil, seperti Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat, yang justru dapat mengaburkan batas antara ranah sipil dan militer. Ketiadaan mekanisme akuntabilitas yang eksplisit dalam pelaksanaan tugas perbantuan TNI kepada institusi sipil, terutama dalam ketentuan mengenai Operasi Militer Selain Perang (OMSP), membuka peluang terjadinya multitafsir yang dapat mengarah pada dominasi militer di ruang sipil. Oleh karena itu, diperlukan revisi terhadap pasal-pasal krusial dalam RUU TNI agar tidak menyimpang dari prinsip konstitusional. Penguatan kontrol sipil harus diwujudkan melalui pembentukan lembaga pengawas independen, peningkatan fungsi pengawasan Komisi I DPR RI, serta transparansi internal melalui sistem audit yang ketat. Reformulasi RUU ini penting agar keberadaan TNI tetap berada dalam kerangka negara hukum yang menjamin supremasi sipil atas kekuatan militer.
DAFTAR R PUSTAKA
Andresen, J. (2018). Fighting Terrorism under All Applicable Law (Draft; final version forthcoming in. 1–47.
Annisa, M., & Wisnaeni, F. (2023). Polemic of law no. 23 of 2019 concerning management of national resources for national defense formation of reserve components. Int. J. Soc. Sci. Res. Rev, 6, 122–131.
Azzahra, N. (2022). Kewenangan Tentara Nasional Indonesia (TNI) dalam pemberantasan tindak pidana terorisme. Tata Negara.
Doliwa, A. (2002). Dychotomiczny charakter podmiotowości prawnej państwa (imperium i dominium). Studia Prawnicze, 153(3), 33–50.
Fitria, M., & Deslin, P. (2023). Tinjauan Yuridis Mengenai Sengketa Kepemilikan Hak Atas Tanah Antara TNI dan Warga Sipil di Indonesia. 6(2), 5453–5460.
Gea, G. V. V., Krustiyati, A., & Veronica, S. (2025). Indonesia and World Trade Organization’s Prohibtion on Fisheries Subsidies: Finding a Breakthrough. Reformasi Hukum, 29(1), 101–110.
Kamil, M. A. (2022). Legalitas Anggota TNI Aktif Dalam Rangkap Jabatan Sipil (Studi Terhadap Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 Tentang Tentara Nasional Indonesia). Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Moroń, D. (2022). Wynagradzanie członków korpusu służby cywilnej. Studia Iuridica, 92, 145–163.
Muhtadi, B. (2022). The Indonesian military enjoys strong public trust and support: reasons and implications. ISEAS Publishing.
Novavah, M. H. (2020). Analisis UU No. 34 Tahun 2004 Tentang Kedudukan dan Peran TNI dalam Lembaga Pemerintahan Negara. Rechtenstudent, 1(1), 1–7. https://doi.org/10.35719/rch.v1i1.8
Pebrianto, R. (2024). Kebijakan Hukum Pidana Tentang Pemeriksaan Prajurit TNI yang Melakukan Tindak Pidana Umum. SEIKAT: Jurnal Ilmu Sosial, Politik Dan Hukum, 3(1), 71–80. https://doi.org/10.55681/seikat.v3i1.1194
Sahabuddin, Z. A., & Ramdani, E. A. (2020). Sistem Pertahanan Rakyat Semesta Pasca Berlakunya UU PSDN Untuk Pertahanan Negara. JPAP: Jurnal Penelitian Administrasi Publik, 6(1), 13–24.
Sawi, M. (2022). Judicial Reconstruction of Indonesian National Army as Criminal Actors. JL Pol’y & Globalization, 120, 1.
Susdarwono, E. T. (2020). Analisis Terhadap Wajib Militer Dan Relevansinya Dengan Rancangan Undang-Undang Komponen Cadangan. Khatulistiwa Law Review, 1(2), 130–147. https://doi.org/10.24260/klr.v1i2.86