DETEKSINEWS.ID, Pohuwato – Banjir kembali menghantam Desa Hulawa dan sejumlah wilayah di Kecamatan Buntulia, Kabupaten Pohuwato, Provinsi Gorontalo.
Luapan sungai yang semakin liar membuat warga hidup dalam bayang-bayang bencana, terutama setiap kali hujan deras mengguyur wilayah tersebut.
Aktivitas pertambangan emas yang masih bebas beroperasi diduga kuat menjadi biang kerok utama bencana banjir.
Pembukaan lahan secara brutal, pengerukan berizin maupun tanpa izin, serta pembuangan material tambang ke badan sungai telah memicu sedimentasi berat dan kerusakan daerah aliran sungai (DAS). Sungai kehilangan daya tampung, air pun meluap ke permukiman warga.
Wakil Ketua Umum Lembaga Analisis HAM Indonesia, Akram Pasau, SH, melontarkan kecaman keras dan menyebut tambang emas secara ilegal sebagai kejahatan lingkungan sekaligus kejahatan pertambangan yang dampaknya langsung mengancam keselamatan masyarakat.
“Ini bukan sekadar pelanggaran administratif. Tambang ilegal adalah kejahatan serius. Ada korban lingkungan, korban sosial, dan potensi korban jiwa jika dibiarkan terus,” tegas Akram.
Salam realesenya yang di kirim ke redaksi, Ia mempertanyakan ketegasan aparat penegak hukum yang dinilai belum maksimal menghentikan praktik tambang ilegal.
Menurutnya, pembiaran hanya akan mempercepat kehancuran ekologis Pohuwato sebagaimana yang pernah terjadi di sejumlah daerah lain akibat eksploitasi sumber daya alam tanpa kendali.
Secara hukum, aktivitas tersebut melanggar Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Pasal 98 ayat (1) mengatur ancaman pidana penjara 3 hingga 10 tahun serta denda Rp3 miliar hingga Rp10 miliar bagi pelaku perusakan lingkungan secara sengaja. Pasal 99 ayat (1) mengancam pidana bagi pelaku akibat kelalaian, sedangkan Pasal 109 menegaskan pidana bagi setiap orang yang menjalankan usaha tanpa izin lingkungan.
Selain itu, tambang ilegal juga melanggar keras Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba). Dalam Pasal 158, setiap orang yang melakukan usaha penambangan tanpa izin resmi (IUP, IUPK, atau izin lainnya) diancam pidana penjara paling lama 5 tahun dan denda paling banyak Rp100 miliar.
Tak hanya itu, Pasal 161 UU Minerba menegaskan bahwa pihak yang menampung, mengolah, memurnikan, mengangkut, atau menjual hasil tambang dari kegiatan ilegal juga dapat dijerat pidana dengan ancaman penjara hingga 5 tahun dan denda hingga Rp100 miliar, sehingga tidak hanya pelaku lapangan, tetapi juga aktor intelektual dan jaringan pendukungnya berpotensi diproses hukum.
Dari sisi konstitusi, praktik tambang ilegal tersebut bertentangan dengan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945, khususnya Pasal 28H ayat (1) tentang hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat, serta Pasal 33 ayat (3) yang menegaskan bahwa bumi, air, dan kekayaan alam dikuasai negara untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat, bukan untuk dirusak oleh kepentingan mafia tambang.
Pernyataan keras itu disampaikan Akram Pasau bersama Ketua DPW Lembaga Analisis HAM Indonesia Provinsi Gorontalo, Janes Komenaung, SH.
Keduanya mendesak pemerintah daerah, aparat penegak hukum, dan instansi terkait agar tidak lagi bermain aman.
Mereka menuntut penutupan total seluruh lokasi tambang ilegal, penyitaan alat berat, penelusuran aliran dana, serta penegakan hukum tanpa pandang bulu hingga ke pemodal dan pengendali di balik layar.
“Jika hukum kalah dari tambang ilegal, maka banjir, kerusakan alam, dan penderitaan rakyat akan terus menjadi warisan buruk bagi daerah ini,” tegas mereka.
Rels-D002













