
Dr. Aryanto Husain
(26/6/2025)
Gorontalo, DETEKSINEWS.ID – Headline tajuk salah satu koran online sore itu cukup mengejutkan.
Gubernur Gorontalo merekomendasikan pemberhentian aktivitas salah satu perusahaan tambang emas di Gorontalo. Rekomendasi ini menunjukkan kehadiran Pemerintah Provinsi Gorontalo yang tidak abai terhadap polemik pengelolaan sumberdaya alam. Komitmen pengelolaan SDA dan lingkungan berkelanjutan Pemprov Gorontalo bahkan secara ekspisit ditunjukan Gubernur Gusnar Ismail terhadap pembentukan Geopark Gorontalo.
Sektor pertambangan sering dipersepsikan sektor free rider. Ditekan bertumbuh di satu sisi, namun ternyata berkembang pesat disisi lain. Keberatan terhadap bertumbuhnya sektor ini karena sisi cerita buruknya. Sektor ini mungkin yang paling banyak berhadapan dengan polemik sosial dan lingkungan, mulai dari persoalan penguasaan lahan hingga bencana ekologis yang menimpa di berbagai daerah.
Pada Kamis, 21 September 2023 aksi demo penambang berujung rusuh dengan pembakaran Kantor Bupati Pohuwato. Perseteruan penguasaan lahan dan tuntuan ganti rugi menjadi penyebab. Belum reda isu ini, pada Juli 2024, Gorontalo kembali mencatat sejarah kelam. 27 korban jiwa akibat longsor tambang emas dan 8.000 jiwa terdampak banjir. Ini baru sebagian catatan gelap ketidakarifan dalam pengelolaan sumberdaya alam. Sebuah ironi yang menyakitkan ditengah harapan meningkatkan kontribusi sektor sumberdaya alam terhadap pembangunan daerah.
Bencana ekologis adalah wujud klasik “tragedy of the commons” (tragedi milik bersama), sebuah konsep yang dipopulerkan Garrett Hardin, seorang Profesor Human Ecology di University of California pada tahun 1968. Konsep ini menggambarkan bagaimana sumber daya bersama (commons), seperti lahan, air, dan udara, sering mengalami eksploitasi berlebihan karena kepentingan individu atau kelompok cenderung lebih diutamakan dibandingkan keberlanjutan ekosistem secara keseluruhan. Dalam bahasan ekonomi perilaku, ini adalah bias jangka pendek (present bias) yang sering dialami individu manusia yang sering tidak disadari.
Bias heuristik ini mendorong masyarakat, bahkan pembuat kebijakan cenderung memprioritaskan keuntungan jangka pendek (misalnya membuka lahan untuk pertanian instan, eksploitasi sumber daya) daripada manfaat lingkungan jangka panjang dari konservasi. Ada kecenderungan untuk hanya percaya pada informasi yang mendukung pandangan yang sudah ada. Alam itu menyediakan sumberdaya yang tak berbatas. Confirmation Bias ini mendorong pembangunan menjadi eksploitatif. Maka perlombaan mengeruk sumberdaya pun tidak bisa dihindarkan.
Di sisi lain, kerusakan lingkungan dan bahkan jatuhnya korban jiwa seperti terabaikan. Availability Heuristic (heuristik ketersediaan), bekerja tanpa diketahui. Kita tidak sadar sering mengabaikan risiko atau kemungkinan buruk terjadi karena belum mengalaminya. Jika bencana ekologis belum sering terjadi atau dampaknya belum dirasakan langsung, risiko degradasi lingkungan sering diremehkan.
Maka membaca rekomendasi di atas dan dukungan terhadap hadirnya Geopark Gorontalo menarik dari perspektif ekonomi perilaku. Pemprov Gorontalo secara tidak langsung mengingatkan potensi resiko pengelolaan sumberdaya lama yang tidak berkelanjutan, dan mendorong secara halus perhatian publik terhadap bencana ekologis yang sewaktu-waktu bisa menimpa lagi. Melalui kebijakan yang dilandasi teori dorongan halus (Nudge Theory) yang dipopulerkan pakar ekonomi perilaku, Richard Thaller ini, Pemerintah Provinsi mendorong publik untukl memilih perilaku pro-lingkungan.
Geopark adalah sebuah _evolutional tool_ pembangunan berkelanjutan, sebuah konsep yang mengintegrasikan konservasi, edukasi, dan pembangunan ekonomi berkelanjutan. Berbeda dengan berbagai instrumen konservasi lainnya, geopark menawarkan upaya konservasi sambil memanfaatkan sumberdaya secara ekonomis sambil memberikan edukasi terhadap pengelolaan sumberdaya alam yang ramah lingkungan.
Masyarakat mungkin peduli lingkungan, tetapi ketika dihadapkan pada pilihan ekonomi konkret, mereka cenderung memilih opsi yang memberikan keuntungan jangka pendek. Pilihan menambang emas secara ilegal, menggunduli perbukitan untuk lahan jagung, atau mengeksploitasi hutan berlebihan manfaatnya terasa nyata dan cepat. Ini adalah efek Sunk Cost Fallacy (bias kerugian) yang selalu ada pada setiap individu. Manusia sulit meninggalkan praktik yang sudah menghabiskan banyak investasi (waktu, uang) meskipun terbukti merusak lingkungan. Mereka, misalnya, cenderung akan terus melanjutkan praktik pertanian tidak berkelanjutan karena sudah terlanjur “investasi” pada lahan tersebut.
Kehadiran Geopark Gorontalo nantinya menjawab tantangan kebijakan dan aturan yang konvensional. Dalam penelitian ekonomi perilaku, regulasi saja tidak cukup untuk mengubah perilaku, terutama ketika proses pengambilan keputusan ekonomi seringkali bersifat tidak sadar dan didorong oleh kebiasaan serta tekanan ekonomi langsung.
Geopark menawarkan cara lain yang halus. Dengan teori dorongan halus (Nudge), geopark menawarkan solusi yang lebih realistis. Alih-alih mengandalkan larangan atau sanksi keras yang sulit ditegakkan, nudge mengubah “arsitektur pilihan” untuk mengarahkan perilaku ke arah yang diinginkan tanpa membatasi kebebasan memilih. Misalnya, menciptakan insentif ekonomi langsung bagi petani yang beralih dari monokultur jagung ke agroforestri. Atau mengembangkan skema pembayaran jasa ekosistem yang memberikan kompensasi finansial kepada masyarakat yang menjaga hutan.
Bencana Gorontalo juga mengungkap kegagalan dalam collective action atau tindakan kolektif. Dengan keterlibatan Pemerintah Kabupaten/Kota, Geopark Gorontalo memperkuar koordinasi antar-wilayah dalam pengelolaan lingkungan yang selama ini dianggap masih lemah. Lazimnya, setiap daerah cenderung mengejar target ekonomi masing-masing tanpa mempertimbangkan dampak ekologis lintas batas. Geopark hadir menjadi platform efektif untuk collective action dalam pengelolaan lingkungan.
Karenanya pengembangan Geopark Gorontalo tidak hanya dalam konteks kebijakan fisik namun juga perlu memperhitungkan aspek perilaku para aktor dan pemangku kepentingan (Geopark yang Behavioral-Informed. Cara yang paling awal adalah mengintegrasikan nudge ekonomi dalam setiap program. Salah satunya adalan implementasi green defaults, upaya membiasakan narasi ramah lingkungan. Green defaults bekerja dengan memanfaatkan inertia dan status quo bias untuk mendorong pilihan yang lebih ramah lingkungan tanpa membatasi kebebasan individu untuk memilih.
Di sektor pariwisata, misalnya, seorang pengunjung memiliki pilihan default berupa paket wisata berkelanjutan yang mencakup transportasi ramah lingkungan,akomodasi dengan sertifikasi lingkungan, dan aktivitas yang mendukung konservasi. Pengunjung tetap memiliki opsi untuk memilih paket konvensional, tetapi mereka harus secara aktif opt-out dari pilihan default ini. Ini akan mengurangi dampak kegiatan wisatawan terhadap lingkungan.
Selanjutnya adalah menciptakan insentif yang meng-align kepentingan ekonomi jangka pendek dengan konservasi jangka panjang. Kita sering menghadapi dilema antara mendorong pertumbuhan ekonomi dengan menjaga kelestarian lingkungan. Meskipun ada kesadaran pentingnya sustainability, kegiatan ekonomi seringkali didorong oleh pertimbangan ekonomi jangka pendek.
Geopark bisa mengoordinasikan tatakelola yang efektif yang dapat menyerasikan berbagai kepentingan sekaligus memastikan tujuan jangka panjang tidak dikorbankan untuk kepentingan jangka pendek. Dengan menggunakan pendekatan Framing Effect (efek pembingkaian), Geopark bisa mendorong manfaat ekonomi dalam pesan tentang konservasi. Pesan konservasi jika “dibingkai” sebagai pembatasan atau larangan, biasanya akan ditolak. Tapi jika “dibingkai” sebagai peluang ekonomi baru atau perlindungan masa depan, lebih mudah diterima.
Cara ini perlu diperkuat dengan social proof. Individu cenderung mengikuti perilaku orang lain, terutama ketika mereka tidak yakin tentang tindakan yang tepat dalam situasi tertentu. Semakin banyak kegiatan ekonomi berperilaku dan bertanggung jawab terhadap lingkungan, maka semakin banyak aktor ekonomi yang terdorong mengikuti perilaku pro-lingkungan. Jika semakin banyak penambang atau petani jagung melakukan praktek kegiatan yang ramah lingkungan, maka semakin banyak yang akan mengikuti cara itu dengan tetap menerima insentif ekonomi yang ditargetkan.
Bencana ekologis seharusnya menjadi momentum refleksi kritis untuk menghadirkan kebijakan yang behavirour based. Geopark bukan sekadar label atau branding, tetapi menjadi sistem tata kelola yang harus didesain mampu mengubah perilaku ekonomi masyarakat secara sistemik. Tanpa transformasi ini, tragedi bencana alam akan terus berulang, dan Gorontalo akan kehilangan lebih banyak nyawa dan lingkungan di masa depan.
Saatnya Geopark Gorontalo hadir dan menjadi solusi nyata dalam isu pembangunan berkelanjutan di Gorontalo !
muzamilselvim@gmail.com