Andini Puluala1 , Astuti Usman2 , Hikmah Ramdani Ismail3 , Ika Prawesti Andini4 , Irvan Usman5 , Mohamad Wijayanto Detu
Program Studi Psikologi, Fakultas Ilmu Pendidikan
Universitas Negeri Gorontalo
Gorontalo merupakan salah satu daerah yang ada di bagian utara Indonesia dan dikenal dengan sebutan daerah “Serambi Madinah”.
Serambi Madinah merupakan julukan untuk Provinsi Gorontalo karena pernah menjadi pusat penyebaran agama islam di kawasan Indonesia Timur pada abad ke-16, yaitu pada masa kepemimpinan Sultan Amai.
Ada berbagai macam suku dan budaya yang ada di Gorontalo seperti Suku Suwawa, Suku Bone, dan Suku Atinggola yang merupakan etnis asli Gorontalo. Selain itu, Gorontalo juga terkenal dengan kekayaan sumber daya alam dan budayanya sehingga membuat banyak pendatang seperti orang-orang dari Suku Bugis, Suku Jawa, Suku Makassar dan Suku Bali yang merantau untuk mencari pekerjaan, bersekolah hingga menikah dan akhirnya menetap di Gorontalo. Melina (Budiono, L. A., et al 2022) menyatakan bahwa budaya adalah sekumpulan pengalaman hidup yang ada dalam masyarakat. Selain itu, Murphy & Hildebrandt (Budiono, L. A., et al 2022) juga mendefinisikan budaya sebagai suatu tipikal karakteristik perilaku dalam suatu kelompok.
Beragam budaya yang dibawa oleh para pendatang ke Gorontalo menuntut mereka untuk dapat menyesuaikan diri dengan sistem norma, adat dan peraturan-peraturan yang ada atau lebih dikenal dengan istilah enkulturasi. Latuheru, et al (2020) menyatakan bahwa enkulturasi adalah suatu proses sosial di mana manusia sebagai makhluk berpikir mempunyai kapasitas refleksi dan kecerdasan serta belajar memahami dan beradaptasi dengan pola pikir, pengetahuan, dan budaya kelompok masyarakat lain. Sebagai negara yang memiliki berbagai macam suku, ras, budaya, agama dan bahasa tidak jarang justru sering menimbulkan konflik antar suku budaya yang ada. Hal tersebut terjadi karena adanya perbedaan temperamen dari sudut pandang budaya masing-masing. Santrock (Awalliya, R. R., 2021) menyatakan bahwa temperamen adalah gaya perilaku dan cara khas seseorang dalam merespon sesuatu. Temperamen merupakan kombinasi dari sifat-sifat yang diwarisi dari orang tua kepada anaknya yang dibawa sejak lahir sehingga dapat menentukan bagaimana respon individu dalam menghadapi suatu hal. Thomas dan Chess (Sarlito W. Sarwono., 2014) menyatakan bahwa terdapat tiga macam bentuk tempramen yaitu easy temperament (temepramen mudah), difficult temperament (tempramen sulit), dan slow-to-warm-up.
Easy temperament (tempramen mudah) adalah jenis tempamen yaitu di mana seseorang dengan jenis temperamen ini cenderung lebih menyenangkan, mudah beradaptasi, berperilaku positi dan reaktif. Sedangkan difficult temperament (tempramen sulit) adalah jenis temperamen di mana seseorang dengan jenis temeperamen ini akan mengalami kesulitan beradaptasi dengan lingkungan baru dan ditandai dengan suasana hati yang negatif. Dan slow-to-warm-up temperamen yaitu jenis temepramen di mana seseorang dengan jenis temperamen ini mebutuhkan waktu untuk dapat menyesuaikan diri antara aktivitas dan pengalamannya.
Setiap daerah pasti memiliki tekanan lingkungan dan budaya yang dapat menciptakan perbedaan sosio-emosional dalam diri setiap individu. Pengalaman budaya yang dialami pada masa pertumbuhan dan perkembangan dapat mempengaruhi karakteristik temperamen seseorang. Dengan adanya berbagai macam budaya tersebut, kami melakukan wawancara kepada tiga informan yang merupakan pendatang dan telah menetap di Gorontalo selama lebih dari satu tahun. Dalam observasi dan wawancara ini dilakukan kepada tiga mahasiswa di lingkungan Universitas Negeri Gorontalo, dengan latar belakang budaya yang berbeda untuk melihat bagaimana perkembangan tempramental yang mereka miliki sejak kecil berdasarkan pola budaya Bugis, Jawa dan Gorontalo.
Informan pertama berinisial JA, merupakan anak pertama dari tiga bersaudara. Ia adalah seorang anak perempuan yang tumbuh dari keluarga broken home dan akhirnya diasuh oleh ibunya. Kedua orang tua JA berasal dari suku Jawa. Saat JA duduk di bangku sekolah dasar, ibunya menikah lagi dan memiliki dua orang anak dari pernikahan tersebut. Sejak kecil, JA selalu dituntut untuk menjadi anak yang mandiri dan ketika menginginkan sesuatu JA harus bekerja keras terlebih dahulu. Ketika JA melakukan kesalahan, JA selalu dimarahi oleh ibunya dengan suara yang keras. Di saat JA masih membutuhkan kasih sayang dan perhatian dari kedua orang tuanya, ternyata nasib tidak berpihak kepadanya. Orang tuanya bercerai dan memilih menikah lagi untuk melanjutkan kehidupan masing-masing. Pengalaman tersebut tentu akan berpengaruh terhadap JA dalam menghadapi suatu masalah, seperti lebih memilih untuk memendam masalah karena merasa bahwa ia tidak memiliki ruang aman untuk berkeluh kesah dan akhirnya membuat ia menjadi sulit untuk mengendalikan emosinya dengan baik. Tidak hanya itu, ketika JA dihadapkan pada suatu masalah di lingkungan baru, JA merasa kesulitan untuk menyesuaikan diri dan mengambil keputusan.
Berdasarkan jenis temperamen menurut Thomas dan Chess, maka informan JA memiliki jenis difficult temperament (temperamen sulit). Hal ini ditandai dengan adanya kesulitan menyesuaikan diri dengan lingkungan baru yang dialami oleh informan JA dan adanya suasana hati negatif seperti sulit untuk mengendalikan emosi karena JA terlalu sering memendam semua masalahnya sendiri.
Selanjutnya, wawancara dilakukan kepada informan dengan inisial AF yang merupakan seorang anak laki laki dan merupakan anak kedua dari tiga bersaudara. AF berasal dari suku Bugis, dan saat ini berusia 21 tahun. AF tumbuh dari keluarga yang harmonis. Namun dibalik keharmonisan tersebut, AF justru mendapatkan pola pengasuhan yang berbeda dengan saudara pertamanya yang merupakan seorang perempuan. Sebagai anak laki-laki, AF selalu dituntut untuk mandiri. Orang tuanya juga menerapkan pola asuh yang otoriter, sehingga AF harus selalu menuruti keinginan orang tuanya. Seiring berjalannya waktu, pengalaman tersebut akhirnya membentuk AF menjadi pribadi yang penuh ambisius, karena sejak kecil AF selalu dituntut untuk memenuhi ekspektasi orang tuanya. Namun sangat disayangkan, hal tersebut justru membuatnya mengalami role confusion atau kebingungan peran sehingga AF sulit untuk menemukan jati dirinya. Hal tersebut terjadi karena orang tuanya selalu memaksakan kepercayaan dan nilai-nilai yang mereka anut kepada AF. Saat AF pertama kali merantau ke Gorontalo, AF mengatakan bahwa ia membutuhkan waktu untuk dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan barunya di Gorontalo. Hal ini dibuktikan dengan adanya percakapan dalam wawancara yaitu dimana AF mengatakan “Ohh kalau itu saya tidak langsung bisa beradaptasi begitu. Karena nda sama ji kan lingkungan ku di sana dengan pas datang ka di sini. Ada beda-bedanya, jadi butuhka waktu begitu e untuk mengamati dulu bagaimana lingkungan di sini”.
Dari hasil wawancara di atas, dapat kita ketahui bahwa AF memiliki jenis slow-to-warm-up temperament. Asumsi ini dibuktikan dengan adanya percakapan antara interviewer dengan informan yang mengatakan “Ohh kalau itu saya tidak langsung bisa beradaptasi begitu. Karena nda sama ji kan lingkungan ku di sana dengan pas datang ka di sini. Ada beda-bedanya, jadi butuhka waktu begitu e untuk mengamati dulu bagaimana lingkungan di sini”. Sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa AF dapat beradaptasi dengan lingkungan baru, namun ini memerlukan waktu untuk dapat menyesuaikan diri antara aktivitas dan pengalaman di lingkungan asalnya yaitu Makassar dengan aktivitas dan pengalaman yang ada di lingkungan barunya yaitu Gorontalo. Hasil ini tentu berbanding terbalik dengan informan pertama yang justru mengalami kesulitan untuk beradaptasi dengan lingkungan barunya.
informan terakhir berinisial UL, lahir di Gorontalo dan saat ini berusia 19 tahun. Ayah UL berasal dari suku Mongondow dan ibunya berasal dari suku Gorontalo. Sejak kecil UL selalu dititipkan kepada kakek dan neneknya, karena kedua orang tuanya sibuk bekerja. Hal tersebut kemudian membuat UL jarang berinteraksi dengan kedua orang tuanya dan terus terbawa hingga saat ini. Saat UL melakukan kesalahan, tidak jarang ayahnya selalu mengeluarkan perkataan kasar hingga melakukan kontak fisik kepada UL. Tidak sampai disitu saja, ternyata UL pernah menjadi korban bully saat ia masih berada di bangku sekolah dasar. Namun karena kedua orang tuanya sibuk bekerja, ia tidak menceritakan masalah tersebut dan memilih untuk memendamnya sendiri. Hingga saat ini kedua orang tuanya tidak mengetahui bahwa UL pernah di bully. Hal tersebut membuat UL menjadi mistrust atau timbulnya rasa ketidakpercayaan terhadap orang tuanya. UL bahkan mengatakan bahwa ketika diberi kesempatan untuk menukar kedua orang tuanya, UL ingin melakukan hal tersebut. Pengalaman traumatis yang dialami UL sejak kecil hingga saat ini, membuatnya menjadi pribadi yang sulit untuk berinteraksi dengan orang lain sehingga tidak jarang UL sering mengalami kesulitan untuk beradaptasi dengan lingkungan barunya, mood yang tidak teratur, sulit percaya terhadap orang lain, tidak percaya diri, lebih sering memendam masalahnya sendiri, dan selalu mencari kenyamanan pada orang lain untuk mendapatkan apa yang ia tidak dapatkan dari orang tuanya. Asumsi tersebut dibuktikan dengan adanya percakapan dalam wawancara di mana UL mengatakan “Aku kalau mo ketemu deng orang baru itu kayak cuman diam begitu, soalnya kadang aku bingung mo mulai bagaimana ini percakapan, dan kadang olo aku rasa takut dorang tidak mau hiraukan kalau aku ajak bicara begitu”.
Pernyataan UL dalam wawancara, dapat menjadi data untuk mendukung asumsi bahwa UL memiliki jenis temperamen yang sama dengan informan JA yaitu difficult temperament (temperamen sulit). UL secara terang-terangan mengatakan bahwa ia bingung dan takut untuk memulai percakapan apabila bertemu dengan orang baru. Adanya rasa kebingungan dan ketakutan yang dialami UL ketika bertemu dengan orang baru, terjadi karena sejak kecil ia telah menjadi korban bullying yang membuatnya hanya memiliki sedikit teman. Tidak hanya itu, kondisi ini juga diperparah dengan adanya interaksi yang sangat terbatas antara UL dan orang tuanya yang akhirnya membuat UL memendam semua rasa takutnya sendiri. Pengalaman tersebut akhirnya membentuk UL menjadi pribadi yang tidak percaya diri karena merasa takut tidak dihiraukan atau tidak didengarkan ketika memulai percakapan dengan orang baru. Hal tersebut juga terjadi karena pengalaman masa lalunya yang di mana ia juga jarang didengarkan oleh kedua orang tuanya.
Dapat disimpulkan bahwa lingkungan memiliki peran yang sangat penting terhadap suatu individu dalam menggunakan kemampuan kognitifnya untuk mengambil keputusan saat menghadapi suatu masalah, dan karakteristik tempramental seseorang tergantung pada pengalaman hidup yang mereka hadapi. Meski hidup di satu lingkungan yang sama, namun setiap individu pasti memiliki pengalaman yang berbeda-beda. Begitu pula yang dirasakan oleh JA, AF dan UL ketika dihadapkan oleh suatu masalah yang mengharuskan mereka untuk melakukan enkulturasi terhadap sistem norma, adat dan peraturan yang ada di masyarakat. Sikap temperamental ketiga imforman memiliki karakteristik yang beraneka ragam, sehingga enkulturasi yang dilakukan juga berbeda-beda ketika berada di lingkungan baru yang berbanding terbalik dengan lingkungan asal mereka. Mereka dapat mengendalikan diri mereka dari sikap temperamental yang buruk apabila dapat memahami dan menyesuaikan dirinya.