Kuatnya Backingan PETI Taluditi Dibalik Tragedi Kematian Anto Yang Sulit Tersentuh Hukum

Kuatnya Backingan PETI Taluditi Dibalik Tragedi Kematian Anto Yang Sulit Tersentuh Hukum

34 views
0

DETEKSINEWS.ID – Pohuwato. Ada yang menarik di balik kematian Anto, seorang penambang, pada Kamis (09/10/2025) di lokasi tambang emas tanpa izin (PETI) Taluditi.

Cerita Anto membuka kembali bab lama yang selama ini disembunyikan rapat dan seakan backingan kuat melingkar rapat di balik aktifitas mulus tambang emas ilegal di wilayah tersebut.

Istilah yang sederhana diucapkan, namun rumit dijelaskan. Sebab di balik satu kata itu, berdiri jaringan kepentingan yang berlapis—ekonomi, sosial, hingga politik—yang menopang keberlangsungan tambang ilegal di Kabupaten Pohuwato.

Peristiwa tragis yang menimpa Anto terjadi di lokasi tambang yang dikenal dengan sebutan Cabang Kanan, wilayah yang selama ini ramai oleh aktivitas alat berat.

Dari keterangan narasumber lapangan yang enggan disebutkan namanya, suara mesin tambang tak pernah berhenti bahkan setelah tragedi tersebut terjadi.

“Tidak ada penghentian. Alat berat tetap beroperasi seperti biasa. Kalau tidak ada bekingan, mana mungkin bisa jalan seperti itu,” ujarnya singkat.

Pernyataan itu mencerminkan kenyataan pahit: bahwa di balik tragedi kemanusiaan, ada sistem pelindung yang bekerja. Bukan perlindungan hukum, melainkan perlindungan kepentingan, yang sulit diurai benang kusutnya.

Dalam penelusuran awak media pada Selasa (14/10), bekingan di dunia PETI Taluditi tidak berdiri sebagai satu figur tunggal. Ia terbentuk dari rangkaian kepentingan yang terorganisir tanpa struktur formal.

Ada pihak yang menguasai akses modal dan alat berat. Ada pula pihak yang menjamin keamanan, memberikan “izin sosial”, dan mengatur hubungan dengan otoritas tertentu. Semua saling terhubung melalui skema yang halus, seolah menjadi sistem ekonomi paralel di luar hukum negara.

“Setiap alat berat yang masuk, pasti ada koordinasi. Tidak mungkin ada yang berani jalan tanpa dukungan dari orang berpengaruh. Kadang mereka tidak muncul di lokasi, tapi semua operator tahu siapa yang sebenarnya pegang kendali,” ungkap narasumber lainnya yang juga meminta anonimitas.

Sistem bekingan ini ibarat jaring laba-laba. Di tengahnya ada figur-figur yang mengatur arus uang dan keamanan, sementara di pinggirnya ada pekerja lapangan, sopir atau operator, dan warga lokal yang bergantung hidup dari sisa emas yang tersisa.

Tragedi seperti yang menimpa Anto hanyalah konsekuensi paling tragis dari sistem tersebut — ketika keselamatan manusia menjadi hal sepele dibandingkan dengan keberlangsungan bisnis tambang ilegal.

Yang disebut backingan di Pohuwato bukan selalu aparat atau pejabat, melainkan siapa pun yang memiliki kekuatan untuk menjamin kelangsungan aktivitas PETI.

Mereka bisa berasal dari lingkar bisnis, penguasa lokal, atau bahkan pihak-pihak yang memiliki hubungan dengan struktur formal.

Kekuasaan mereka tidak diukur dari jabatan, tetapi dari kemampuan mengatur siapa yang boleh bekerja, siapa yang harus berhenti, dan berapa besar “atensi” yang harus dibayar agar bisnis tetap aman.

“Mereka tidak terlihat, tapi semua tunduk. Satu telepon dari mereka bisa membuat satu lokasi ditutup atau dibuka lagi,” tutur seorang pekerja tambang yang pernah beroperasi di Taluditi.

Kekuatan semacam ini menjadikan bekingan lebih berbahaya dari pelaku di lapangan. Karena mereka bukan hanya bagian dari sistem, mereka adalah arsitek dari berjalannya sistem itu sendiri.

Anto meninggal dunia tertimpa pohon tumbang akibat getaran alat berat di sekitar lokasi tambang. Ia dimakamkan di Desa Makarti Jaya pada Jumat malam (10/10/2025).

Namun hingga kini, tidak ada satu pun pihak yang mengakui tanggung jawab atas kematian tersebut. Bahkan, setelah tragedi itu, aktivitas di lokasi tidak benar-benar berhenti. Keheningan menggantikan rasa tanggung jawab, dan duka keluarga tertutup debu mesin tambang yang terus bekerja.

Pertanyaan publik pun mengeras:
Bagaimana mungkin tambang ilegal bisa tetap beroperasi bebas di tengah berbagai pelanggaran hukum yang nyata?
Siapa yang melindungi, mengatur, dan memastikan bisnis ini tetap hidup, meski telah menelan korban jiwa?

Pertanyaan itu mungkin tidak akan terjawab dalam waktu dekat. Sebab backingan adalah wajah kekuasaan yang tak berwujud.

Mereka tidak pernah terlihat dalam foto, tidak tercantum dalam struktur pemerintahan, tapi setiap keputusan di lapangan tak lepas dari genggamannya.

Tragedi Taluditi bukan hanya kegagalan moral para pelaku PETI, tetapi juga bentuk pembiaran sistemik yang melibatkan banyak kepentingan.

Setiap backingan tumbuh karena ada ruang kosong hukum, ada celah birokrasi, dan ada kompromi yang dibiarkan berulang kali.

Sementara masyarakat kecil seperti Anto, tetap menjadi korban paling nyata dari kebijakan yang tak pernah menyentuh akar masalah.

Selama jaringan bekingan masih beroperasi tanpa akuntabilitas, tragedi seperti ini akan terus berulang.

PETI bukan hanya soal tambang ilegal — tetapi tentang bagaimana kekuasaan digunakan untuk melindungi keuntungan segelintir orang, dengan mengorbankan keselamatan banyak orang.

Red-DSI-D002

Your email address will not be published. Required fields are marked *