
Gorontalo Utara, DETEKSINEWS.ID – Di sebuah teras rumah sederhana yang dinaungi atap seng dan dinding tanpa cat mencolok, puluhan warga berkumpul dengan wajah berseri.
Di tengah mereka, duduk seorang pria paruh baya dengan senyum yang tak dibuat-buat. Dialah Thariq—sosok yang kini kian dikenal bukan karena janji-janji politik, melainkan karena kehadirannya yang nyata di tengah masyarakat.
Thariq dikenal luas sebagai figur yang gemar blusukan. Ia bukan tipe pemimpin yang menunggu di ruang ber-AC. Ia lebih memilih melintasi lorong-lorong kampung, menembus jalan setapak, menyapa warga dari pintu ke pintu.
Baginya, pemimpin sejati adalah mereka yang tak segan duduk sejajar bersama rakyat, bukan hanya di balik meja kantor. Ini sudah biasa dilakukan ketika diberi amanah menjadi wakil bupati dan bupati sebelumnya.
“Tidak ada pemimpin yang sempurna, tapi rakyat butuh yang mau datang, mendengar, dan peduli dengan kerja nyata.” Itulah yang sering diucap orang bijak.
Kutipan ini menjadi semacam cambuk bagi Thariq untuk tidak berlama-lama di ruang ber-AC bersama kursi empuk kekuasaan. Thariq akan selalu melakukan sidak dan blusukan di lapangan dan bersama rakyat, melihat dan merasakan langsung apa yang terjadi di tengah masyarakatnya.
Memastikan dalam kepemimpinannya, pelayanan kepada rakyat adalah yang paling utama. Selain itu, bagi Thariq hanya nomor dua.
Saat ini pun, kebiasaan itu tetap melekat dalam kepribadiannya.
Berbagai blusukan yang diabadikan dalam sebuah dokumentasi yang hangat ini, memperlihatkan betapa kehadirannya begitu dinanti dan disambut penuh harapan. Di sana, warga dari berbagai usia, sebagian besar ibu-ibu, berkerudung warna-warni, berdiri ceria sambil mengacungkan dua jari—simbol dukungan yang tak hanya politis, tetapi emosional. Bagi Thariq, itu adalah jalan-jalan Tuhan menuju perubahan yang lebih baik.
Menurut pengamat lokal, gaya gemar blusukan ini menjadi daya tarik tersendiri di tengah masyarakat yang rindu akan pemimpin yang hadir secara nyata, bukan sekadar lewat baliho atau slogan, apalagi menerjunkan tim yang hanya bisa menjelek-jelekkan orang seakan mereka manusia sempurna yang lebih baik.
Dalam deru suara tepuk tangan dari masyarakat setiap kali Thariq selesai menjawab pertanyaan, tergambar keyakinan dan harapan pada sosok akademis-politisi yang dikenal peduli dengan rakyat miskin.
Dalam setiap pertemuan dengan suasana yang bersahaja itu, Thariq menjadi gambaran pemimpin yang dirindukan: yang tidak hanya melihat rakyat, tapi benar-benar memperhatikan mereka. Yang tidak hanya mencatat dan berjanji, tapi mendengar dengan sepenuh hati.
Tergambar dari masyarakat, Thariq bukan hanya calon pemimpin—ia adalah bagian dari mereka yang selalu dirindukan kehadirannya. (*VW/D002*)